Cerpen
MENUNGGU
Oleh
:
Yolanda
Angie Diareza
9B/34
PEMERINTAH
KOTA MALANG
DINAS
PENDIDIKAN SMP NEGERI 20 MALANG
Jl. R.T.
Suryo No. 38 Telp (0341) 49180
MENUNGGU
Duakk…
“Aww!”
rintihku sambil memegangi kepalaku yang sakit.
“Aduh,
maaf ya. Aku tadi enggak sengaja. Maaf banget, kamu enggak apa-apa
kan?” tanya cowok itu.
“Emm,
iya aku enggak apa-apa kok.”
“Yaudah
kalau gitu aku pergi dulu.”
“Eh
eh tunggu, jangan pergi dulu!” panggilku. Tetapi cowok itu tak
menggubrisnya.
***
Disiang
yang terik itu….
“Raaavveell!
Kamu kemana aja sih? Capek tau keliling sekolah cuman buat nyari kamu
doang!” semprot Fafa kepadaku.
“Iiihh
apaan sih? Aku tadi habis nyari note ku yang hilang. Eh nggak taunya
ada di bangku taman.” paparku.
“Kamu
tuh suka lupaan ya. Waktu istirahat tadi kan kita duduk-duduk di
taman. Mungkin aja kamu lupa enggak bawa note kamu ke kelas.”
“Eh
iya ya. Aku kok jadi lupaan gini sih?”
“Belum
tua sudah lupaan. Dasar pikun! Hahahah.” ledeknya terhadapku.
“Iiihh,
ya enggak lah!” elakku.
“Enggak
salah maksutnya. Hahahaha…. Sudah-sudah, kita sudah ditungguin tuh
sama anak-anak di gerbang.”
“Yaudah
yuk, cabut!”
Seperti
biasa, sepulang sekolah aku dan sahabat-sahabatku selalu punya
kesibukan, entah itu kerja kelompok ataupun bermain bersama. Tapi
siang ini kesibukan kami adalah kerja kelompok di rumah Diana, salah
satu sahabatku. Guru IPA kami, Pak Burhan memberi tugas kelompok
untuk mengerjakan LKS 1 bab. Malas sih sebenarnya, tapi mau bagaimana
lagi. Daripada ntar kena omelan dari Pak Burhan. Rumah Diana tidak
jauh dari sekolah. Maka dari itu kami memutuskan untuk berjalan kaki
saja. Walaupun pada saat itu cuaca sedang tidak bersahabat, tetapi
berjalan bersama sahabat rasanya sangatlah mengasyikkan.Tidak peduli
seburuk apapun cuacanya, tetapi yang terpenting ialah kebersamaan.
Kebersamaan itulah yang akan selalu kutanam dan kujaga di hatiku.
Begitu pula dengan keenam sahabatku.
Namaku
Ravelia Bellinda yang biasa dipanggil Ravel. Aku lahir di Malang
tanggal 15 bulan Maret tahun 1998. Aku anak pertama dari dua
bersaudara. Diawal masa SMP ku ini, aku sudah mempunyai keenam orang
sahabat yaitu Melita Azzahra yang biasa dipanggil Melita, Farisa
Lovelya yang lebih suka dipanggil Fafa daripada Risa, Kirana Melisa
yang dipanggil Lisa, Diana Iswara yang nama panggilannya Diana,
Larasati Putri yang biasa dipanggil Putri, dan satu lagi Raisa
Novitasari yang nama panggilannya adalah Raisa. Orang satu dengan
orang yang lain pasti memiliki perbedaan. Tidak mungkin tidak. Begitu
pula dengan aku dan keenam sahabatku itu. Mulai dari aku, menurut
sahabat-sahabatku aku anaknya jujur, berani dan selalu menomorsatukan
kebersamaan. Tapi aku anaknya juga sedikit malas. Melita, anak satu
ini rajinnya kebangetan. Dia juga ulet dalam segala hal, tapi kalau
sudah tertawa enggak ada remnya. Fafa anaknya sedikit tomboy, maka
dari itu dia lebih suka dipanggil Fafa daripada Risa, soalnya menurut
dia nama Risa itu lebih menjurus ke feminim. Fafa juga lumayan
pintar, jago jadi JuBir dan jago juga kalau disuruh bikin bahan
lelucon. Kalau Lisa anaknya seru diajak ngobrol ngalor
ngidul. Nggak
beda jauh dari si Fafa, Lisa anaknya juga jago bikin lelucon. Kalau
mereka berdua disatukan klop banget deh rasanya. Ibaratnya kopi susu
yang ditambah lagi sama gula. Udah enak ditambah manis, jadinya enak
banget. Sampai-sampai bisa bikin orang buang air kecil di celana atau
istilah singkatnya ngompol
. Sedangkan Diana adalah anak dari salah satu guru di sekolahku. Dia
anaknya pendiam dan pintar. Tapi dibalik kependiaman dan
kepintarannya, tumbuh jiwa-jiwa usil yang ada di dirinya. Yang satu
ini nih, si Putri sangat berbeda dari kami bertujuh. Soalnya dia suka
marah, mudah tersinggung dan malas. Tapi walaupun begitu si Putri
anaknya baik. Sebagai pelengkap ada Raisa yang serba perfect.
Dia cantik, ramah, sopan, pintar dalam segala bidang, rajin
beribadah, postur tubuhnya yang bagus, dan masih banyak lagi.
Walaupun kami mempunyai karakter yang bervariasi, tetapi hal yang
menjadi nomor satu adalah kebersamaan, tidak boleh saling egois,
saling memahami dan menyayangi satu sama lain. Dari perbedaan
karakter dan kelebihan serta kekurangan diri masing-masing itulah
yang membuat kami menjadi bersatu dan semakin kompak. Kami juga
berjanji akan menjaga keutuhan persahabatan kami sampai kapanpun.
***
Kringg…Kringg…
Suara
bel istirahat berbunyi. Aku dan semua temanku segera menuju ke kantin
karena sudah terdengar bunyi keroncongan dari dalam perutku. Setelah
memesan makanan, aku dan keenam sahabatku mencari tempat kosong yang
ada di gazebo. Kami makan bersama disertai candaan dan tawaan.
“Vel?
Kamu kenapa sih daritadi mandangin kalung itu melulu?” tanya Raisa
padaku.
“Heemm.”
jawabku singkat.
“Vel?
Kamu kenapa daritadi nglamun sambil lihat kalung itu?” ulang Raisa.
Setelah
beberapa saat tak ada jawaban..
“Vel?
Ravel? Raaavveell?” panggil Melita terhadapku dengan suaranya yang
melengking.
“Eh,
apaan? Kalian tadi bilang apa? Maaf aku nggak dengar.” jawabku.
“Yaampun
Vel kamu enggak dengar? Parah kamu! Harus dibawa ke THT nih!”
celetuk Lisa.
“Iiihh
aku tuh enggak tuli tau!” elakku.
“Terus
kalau misalnya nggak tuli, kenapa coba daritadi kamu enggak dengar
kalau kita tanya?” sambung Putri yang tiba-tiba datang ke arahku
dengan membawa setumpuk kentang goreng.
“Pasti kamu nglamun kan?
Nglamun siapa hayo?” Tanya Diana.
“Nglamunnya pakai
senyum-senyum segala lagi. Pasti ada sesuatunya nih. Ayo dong kasih
tau!” desak Fafa.
“Jadi kalian mau tau aja apa
mau tau banget?” tanyaku.
“Mau tau bangeeettt!”
jawab mereka serempak.
“Dasar kalian semua kepo
deh! Hahahah…. . Jadi awalnya gini nih, dua minggu yang lalu waktu
aku lagi duduk-duduk di taman sambil baca novel, aku ketemu sama anak
yang cakepnya mirip Justin Bieber. Kalian tau sendiri kan kalau taman
dekat rumahku itu juga dekat sama lapangan basket?”
“Iya aku tau, terus terus?”
lagi-lagi mereka menjawab dengan serentak.
“Nah, waktu dia dan
teman-temannya main basket disitu, dia nggak sengaja nglempar bola ke
arahku yang ada di kursi taman. Otomatis kepalaku kena bolanya. Dia
langsung minta maaf ke aku. Habis gitu dia pergi gitu aja tanpa sadar
kalu kalungnya jatuh dari celananya. Aku sudah manggil-manggil dia,
eh tapi dianya main pergi gitu aja. Yaudah aku ambil aja kalungnya.”
Jelasku
“Aww! Pasti sakit tuh kena
bola basket.” Kata Lisa.
“Tapi sakitnya langsung
hilang waktu lihat mukanya yang manis banget.”
“Iiihh Ravel lebay deh,
selalu aja nggak bisa nahan kalau udah lihat yang namanya cowok
ganteng.” timpal Raisa.
“Yeee, biarin aja. Lumayan
kan buat refreshing mata? Hehehe… .Oh iya nanti malam jadi kan ke
rumahnya Putri?” tanyaku.
“Oh iya ya. Insyaallah deh.”
jawab Diana.
“Gini nih susahnya nggak
punya pacar. Setiap malam minggu pasti malam minguuannya sama teman.”
kata Melita.
“Yang penting kebersamaan
dong. Ya nggak?” seruku.
“Yaiyalah.” jawab mereka
secara serempak.
“Eh gimana kalu kalian semua
menginap di rumahku aja. Soalnya semua keluargaku lagi pada ke Bogor.
Cuma aku doing yang nggak ikut. Ntar kita bisa masak-masak atau buat
kue gitu. Mau nggak?” usul Putri.
“Emm gimana ya? Boleh juga
tuh.” jawabku.
“Yang lain gimana? Setuju
nggak?” tanya Putri.
”Setuju deh.” jawab Raisa.
“Iya deh.” jawab Diana.
“Aku terserah aja.” jawab
Fafa.
“Boleh-boleh.” jawab
Melita.
“Aku juga mau.” jawab
Lisa.
“Oke, kalau gitu datang ke
rumahku jam 7 ya?” tanya Putri.
“Beres!” jawab kami
serempak.
***
Malam
harinya, aku bersama kelima sahabatku menginap di rumah Putri. Kami
bersenang-senang dan bercanda taw aria. Kami juga membuat beberapa
masakan dan kue. Yang tidak kusangka adalah aku bertemu cowok itu
bersama teman-temannya didekat rumah Putri.
“Eh, eh sini deh. Itu kan
cowok yang tadi siang aku ceritain ke kalian. Dia ngapain disini?”
seruku dengan wajah yang penasaran.
“Yang
mana sih Vel?” tanya Fafa.
“Itu loh Fa yang pakai baju
coklat.” Jawabku sambil menunjuk kearah cowok itu.
“Hah? Yang pakai baju
coklat? Itu kan Kak Alvin.” seru Putri.
“Kak Alvin? Kamu kok bisa
tau namanya?” tanyaku pada Putri.
“ Ya tau lah. Dia kan anak
sini. Bisa dibilang dia tetanggaku.” Jawab Putri.
“Yaampun Put sumpah deh aku
bener-bener nggak nyangka. Punya nomor Hp nya nggak?
“Punya, kenapa?”
“Minta boleh kan? Ayo dong ,
boleh ya? Please!” pintaku dengan wajah yang sedikit memelas.
“Nggak usah pasang muka
melas segala. Aku pasti kasih kok. Nomornya aku kirim di HP mu ya?”
“Oke, makasih ya. Putri baik
deh.”
Setelah
mendapatkan nomor HP Kak Alvin dari Putri, esoknya aku segera
mengubunginya lewat SMS. Senang yang tak terhingga kurasakan ketika
Kak Alvin membalas SMSku. Itu tandanya dia mulai meresponku.
Sahabatku pun tak ketinggalan akan berita ini.
“Ciiee,
yang udah mulai deket sama gebetannya nih,” celetuk Fafa yang ada
di depan pintu kelas saat aku baru datang.
“Ciiieeee
ciiieeeee.” sambung kelima sahabatku.
“Iiih,
kalian apaan sih? Biasa aja kali.” jawabku sambil senyum-senyum
sendiri.
“Ih
liat deh, mukanya Ravel merah tuh. Baru aja digituin, mukanya sudah
kayak tomat rebus.” kata Raisa.
“iihh
sudah dnng. Eh tau nggak? Ternyata Kak Alvin itu kakak kelas kita
loh. Dia anak kelas 9E. Dia anaknya seru banget. Perhatian lagi.
Pokoknya perfect deh!” seruku dengan nada bersemangat.
“Kita
semua sudah tau Ravel sayang, kamu kan sudah bilang berkali-kali ke
kita!” kata Melita.
“Aku
denger nih ya Kak Alvin baru putus dari pacarnya loh!” kata Lisa.
“Oh
ya? Kamu tau darimana, Lis?” tanyaku.
“Dari
Kak Gebby. Dia kan tetanggaku yang satu kelas sama Kak Alvin.”
jawabnya.
“Emang
mantannya yang baru itu siapa sih?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Kak
Dhea, dia anak kelas 8F.” jawabnya singkat.
“Buruan
Vel, deketin tuh dia. Mumpung ada kesempatan yang longgar!” timpal
Melita sambil mengerlingkan matanya.
“Kayaknya
aku ada rasa deh sama Kak alvin. Aku rasa aku suka sama dia”.
kataku dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh orang banyak.
Benar kata
orang, bahwa masa SMP ialah masa dimana cinta para remaja mulai
bersemi dengan indahnya. Aku pun merasakan hal demikian. Perkataan
Melita untuk mendekati Kak Alvin ada benarnya juga. Mulai saat itu
aku berusaha mendekati Kak Alvin dengan cara apapun. Semakin hari
hubunganku dan Kak Alvin berlangsung dengan baik. Kami mulai memahami
satu sama lain. Aku ingn sekali tau bagaimana kehidupan dari sosok
Kak Alvin lebih jauh. Aku juga berusaha semaksimal mungkin untuk
merubah aspek didiriku dari kebiasaanku yang jelek hingga menjadi
lebih bagus. Aku juga belajar dengan giat dan mulai memperhatikan
kecantikan agar Kak Alvin bisa tertarik padaku. Memang melakukan
semua itu sangatlah sulit. Tetapi dengan keyakinan dan niat, pasti
berhasil. Bisa dibilang, Kak Alvin adalah inspirasi bagiku. Tak
jarang pula, Kak alvin mengajakku jalan-jalan bersama untuk
memperlancar komunikasi diantara kami sekaligus menghilangkan penat.
Rasanya aku ingin waktu berhenti saat itu juga ketika aku sedang
bersama Kak Alvin agar aku bisa menikmati saat-saat berdua dengannya
dengan lama.
***
“Vel,
ntar malam kamu ada acara nggak?” tanya Kak Alvin padaku ketika
kami sedang pulang bersama.
“Enggak
kak, memangnya kenapa?” jawabku.
“Ntar
malam keluar yuk, aku lagi boring nih di rumah.”
“Boleh-boleh,
kebetulan juga aku ingin sekali pergi jalan-jalan.” jawabku dengan
antusias.
“Oke
deh, ntar malam aku jemput kamu ya?”
“Oke”
jawabku.
Aku tak
sabar menunggu nanti malam. Aku mulai berdandan dengan
seanggun-anggunnya agar terlihat cantik didepan Kak Alvin. Waktu yang
kunanti pun tiba. Aku dan Kak Alvin pergi ke Batu Night Spectaculer
atau yang biasa disebut BNS. Kami menikmati semua wahana yang ada di
BNS. Setelah menaiki semua wahana kami pun beristirahat di taman
karena lelah.
“Vel?”
kata Kak Alvin memulai pembicaraan.
“Ya?”
jawabku singkat.
“Aku
suka sama kamu. Aku sayang sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Seketika
itu jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin mulai
bercucuran. Aku gugup sekali. Tak tau apa yang harus kulakukan.
Bibirku serasa kaku untuk berbicara. Akhirnya, dengan sekuat tenaga
aku mulai bisa mnggerakkan bibirku.
“Kak..Kak
Alvin se..serius?” tanyaku dengan suara terbata-bata.
“Ya,
aku serius.” jawabnya mantap.
“Jawabannya
aku kasih tau besok aja ya kak. Nggak apa-apa kan?”
“Iya
nggak apa-apa kok. Udah malam nih, aku antar kamu pulang ya?”
“Iya
kak.” kataku.
Aku tak
sabar untuk menunggu hari esok. Segera saja aku menghubungi semua
sahabatku bahwa aku telah ditembak
oleh Kak Alvin.Rasa senang yang meluap-luap yang menyelimuti diriku
waktu itu.
Keesokan
paginya di sekolah…
“Vel,
gimana? Kamu jawab apa kemarin?” tanya Putri dengan wajah yang
penasaran.
“Aku
jawab kalau aku kasih jawabannya ke dia hari ini.” Jawabku.
“Kok
dijawab gitu sih? Kenapa nggak langsung bilang iya aja?” sekarang
gantian Lisa yang bertanya padaku.
“Itu
gara-gara aku terlalu gugup, Lis.” jawabku.
“Yaudah
buruan sana kasih jawaban ke dia!” usul Fafa.
“Bakal
ada yang nraktir kita besar-besaran nih!” celetuk Diana yang
daritadi hanya diam saja.
“Aku
nggak mau tau, pokoknya Pajak
Jadian (P.J)
nya harus ada. Nggak boleh sampai enggak!” ancam Fafa kepadaku.
“Iya-iya,
pasti aku kasih kok. Kalian bawel banget sih!” jawabku.
“Biarin.
Yaudah buruan sana!”
Sewaktu
menuju ke kelas Kak alvin, aku melihat banyak gerombolan anak yang
ada di depan kelas Kak Alvin. Langsung saja aku bertanya pada salah
satu teman Kak Alvin yang berdiri tidak jauh dariku. Dia menjawab
bahwa Kak Alvin sedang menyatakan cintanya pada Kak Mila, anak kelas
9A. Tanpa berpikir panjang lagi aku segera menerobos gerombolan
tersebut. Kini, tepat di depanku ada Kak Alvin yang baru saja
menyatakan cintanya pada Kak Mila. Aku langsung berdiri kaku. Tubuhku
tak bisa digerakkan. Bibirku kelu. Aku hanya bisa menggigit bibirku
agar air mataku tak tumpah.
“Maksut
Kak Alvin apa?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Ravel?
Sejak kapan kamu ada disitu?” jawabnya setengah kaget.
“Jadi
maksut Kak Alvin kemarin malam apa?”
“Aku
kemarin ngomong gitu cuma buat nyoba aja. Aku takut gugup sewaktu aku
mau nyatain perasaanku ke Mila. Aku bingung waktu itu. Jadinya aku
nyoba lewat kamu. Tapi sebenarnya aku nggak ada perasaan apapun ke
kamu. Aku cuma cinta ke Mila. Maafin aku ya, Vel!” jelas Kak Alvin.
“Jadi
aku cuma dibuat kelinci percobaan yang sewaktu-waktu bisa dipakai
atau enggak gitu? Kenapa Kak Alvin nggak bilang dari kemarin sih?”
tanyaku dengan nada tinggi.
“Aku
takut nyakitin perasaan kamu, Vel. Makanya aku nggak sempat bilang ke
kamu. Aku masih nunggu waktu yang tepat untuk ceritain semua ke
kamu.”
“Omong
kosong! Dengan cara seperti ini, Kak Alvin malah nyakitin aku tau
nggak! Harusnya Kak Alvin bilang dari dulu kalau nggak ada perasaan
ke aku! Nggak malah ngasih harapan-harapan yang kosong. Seolah-olah
Kak Alvin itu ada rasa sama aku! Kak Alvin tau sendiri kan kalau aku
suka banget sama Kak Alvin. Kenapa sih Kak Alvin tega nglakuin semua
ke aku? Kenapa kak, kenapa?!” bentakku.
Tangisku
pecah saat itu juga. Aku tak peduli dengan bayaknya orang yang
melihatku.
“Vel,
maafin aku ya?” kata Kak Alvin
“Maaf?
Segampang itukah bilang minta maaf? Aku benci sama Kak Alvin!”
jawabku dengan suara yang keras dan bergetar.
Tanpa
menunggu jawaban darinya aku segera berlari meninggalkan dia yang
masih berdiri di ambang pintu kelasnya. Aku ingin menyendiri. Aku
ingin menenangkan hati dan fikiranku. Perih. Ya, itulah yang
kurasakan saat ini. Hatiku hancur. Keceriaan yang tadinya menyelimuti
wajahku kini berubah menjadi kemuraman. Tubuhku lemas seakan-akan aku
tak berdaya. Terlintas di fikiranku dari awal aku bertemu dia sampai
hal yang baru saja aku saksikan tadi. Semuanya begitu cepat terjadi.
“Aku
begitu bodoh! Bodoh sekali! Kenapa begitu gampangnya aku percaya
kepadanya? Kenapa?!” gumamku.
“Aku
tak boleh menangis. Ya, buat apa aku menangis? Tidak ada gunanya sama
sekali. Aku tidak boleh menjadi cewek yang cengeng!” kataku sambil
mengusap air mataku yang terus berlinang.
Setelah
sampai di rumah, aku segera beristirahat. Aku lelah. Aku masih terus
memikirkan insiden yang membuat hatiku hancur itu. Di saat seperti
ini, aku ingin mendengarkan musik ciptaan Bunga Citra Lestari yang
berjudul Kecewa.
Hampa
kesal dan amarah sluruhnya ada di benakku.
Andaikan
seketika hati yang terbalas oleh cintamu.
Kuingin
marah, melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri disini.
Ingin
ku tunjukkan pada siapa saja yang ada bahwa hatiku kecewa.
***
Tak
terasa tiga tahun telah berlalu. Aku masih menunggunya disini. Aku
sudah berkali-kali mencoba untuk melupakannya dan menghapusnya dari
fikiranku. Tapi selalu tak bisa. Apa tuhan memang tak menghendakiku
untuk melupakannya? Jika iya apa alasannya? Perasaan ini begitu
membunuhku. Menunggunya sekian lama membuatku letih. Aku ingin ini
semua segera berakhir agar tak ada beban yang ada dihatiku.
“Vel,
kamu kenapa melamun? mikirin cowok itu?” tanya Melita.
“Ya,
aku selalu terus memikirkannya. Apa kabar ya dia sekarang? Sudah lama
aku tak berhubungan dengannya setelah kejadian itu.” jawabku sambil
menerawang jauh.
“Sudah
lah Vel, yang lalu biarlah berlalu. Masih ada masa depan yang menanti
kita.” ujar Fafa.
“Sekuat-kuatnya
kita, pasti ada dimana saat-saat kita rapuh dan terpuruk. Maka dari
itu ada baiknya kalau kita bangkit dari keterpurukan itu dan mulai
melihat masa depan.” Kata Lisa yang memberi semangat padaku.
Ya, benar
kata sahabat-sahabatku. Aku harus bangkit dari keterpurukan ini. Aku
harus sadar bahwa masih ada orang tuaku, saudaraku,
sahabat-sahabatku, dan semua teman-temanku yang selalu ada
disampingku. Aku sadar bahwa melupakannya hanya membuang waktuku
saja. Biarkan cinta itu mengalir dan terus mengalir dengan sendirinya
seiring berjalannya waktu.
“Yang
harus kufikirkan sekarang adalah bagaimana cara membanggakan kedua
orang tuaku dan menentukan masa depanku kelak yang lebih baik!”
gumamku
dalam hati.